Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net


Rabu, 21 Desember 2011

Review Jurnal Koperasi 27



Nama Anggota Kelompok :


• Nihlah Adawiyah (24210976)
• Rayi Kinasih (25210688)
• Dewi Kencanawati (21210903)
• Ericha Dian N. (22210387)
• Lestari Setyawati (24210005)
• Syiam Noor W. (26210798) 
• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)


PENGKAJIAN DUKUNGAN FINANSIAL DAN NON FINANSIAL
DALAM PENGEMBANGAN SENTRA BISNIS UKM


Abstract

Perkembangan SME.s dengan pendekatan pusat adalah salah satu strategi kebijakan dalam
kapasitas SME.s. Untuk mendorong pengembangan dan meningkatkan daya saing SME.s
di pusat bisnis telah memberikan dukungan penguatan dengan dukungan keuangan (MAP), yang
selokan oleh KSP / USP dan non Finansial oleh LPB / BDS-P. Hasil penelitian ini
adalah distribusi dukungan keuangan.
Memiliki lebih memberikan manfaat dengan dukungan SME.s non biside Finansial. Meskipun
Komposisi menguasai masa lalu dalam LPB / BDS-P yang cukup berlebihan (72,35%) dari kerja
suplai, semuanya obove pendidikan sarjana. Tapi LPB / BDS-P tidak optimal
menjadi manfaat untuk memberikan layanan kepada SME.s di pusat bisnis. Sebagian besar sektor yang telah mereka
berikan adalah layanan informasi dan bisnis sampingan. sedangkan layanan yang paling sedikit adalah
perkembangan teknologi. Distribusi dukungan Finansial (MAP) untuk SME.s
dalam bisnis centro, ternyata menemukan distribusi ke anggota yang bukan bagian dari
SME.s (11,8%). Sumbangan channelization MAP tidak memberikan dampak positif untuk
SME.s tetapi juga memberikan dampak positif untuk pengembangan KSP / USP.

Point-Point

pengembangan UKM ditempuh melalui pendekatan sentra bisnis.
Permasalahan yang dihadapi oleh UKM dalam melaksanakan dan
mengembangkan kegiatan usaha yang terkait dengan Sumber daya di UKM yaitu
kelemahan dalam mengakses teknologi, modal, informasi, dan pasar.
Dalam pengembangan sentra bisnis tersebut, lembaga penyedia jasa
Pengembangan bisnis/Business Development Service Provider (LPB/BDS-P), merupakan lembaga pendukung mitra pemerintah yang berperan menyediakan layanan bisnis, antara lain jasa informasi, konsultasi, pelatihan, pengembangan/advokasi,
pemasaran, aksibilitas sumber permodalan, dan fasilitasi investasi.
Dalam pengembangan sentra bisnis UKM
1. Mengetahui peran dan dampak LPB/BDS-P dan MAP dalam
pengembangan sentra bisnis UKM
2. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan
sentra bisnis UKM
3. Mengetahui profil pengembangan sentra bisnis UKM
4. Untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kinerja KSP/USP koperasi penerima dana MAP.
sampel yang diambil adalah UKM yang berada pada sentra bisnis UKM yang
mendapat dukungan finansial berupa dana MAP dan dukungan non finansial berupa
layanan pengembangan bisnis yang dilakukan oleh lembaga penyedia layanan
pengembangan bisnis (LPB/BDS-P)
Pemilihan sampel dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Lembaga Penyedia Layanan Pengembangan Bisnis (LPB/BDS-P); yang merupakan mitra kerja UKM pada sentra bisnis UKM terpilih dengan menggunakan purposive sampling, yaitu masing-masing satu LPB/BDS-P untuk setiap sentra bisnis UKM terpilih.
2. Koperasi simpan pinjam/usaha simpan pinjam koperasi; penyalur MAP dengan menggunakan purposive sampling, yaitu satu koperasi simpan pinjam koperasi
Pengukuran nilai tambah atau
disebut sebagai Produk Domestik Bruto (PDB), komponennya terdiri dari unsur balas jasa produksi: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. suatu usaha dapat diketahui dengan mencermati laporan keuangannya. Pengukuran
kinerja manajemen dilakukan dengan menggunakan indikator rasio keuangan (financial ratio), yaitu: rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas serta rentabilitas.
Adapun ruang lingkup kegiatan pengkajian antara lain:
- Menganalisis mekanisme seleksi penentuan sentra bisnis UKM, LPB/BDSP
dan KSP/USP penyalur dana MAP yang dipilih dalam program
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006 57 pengembangan bisnis UKM.
- Menganalisis penyaluran dan penggunaan dana MAP dalam pengembangan sentra bisnis UKM (mekanisme penyaluran/pengembalian, jumlah UKM penerima dana MAP, jumlah dana MAP, manfaat/dampak MAP terhadap kinerja UKm/sentra bisnis UKM).
dalam hal manajemen keuangan KSP/USP.
Bidang layanan yang paling banyak diberikan oleh LPB/BDS-P terhadap UKM adalah jasa informasi, jasa konsultan dan pendampingan usaha. Sedangkan bidang layanan yang paling sedikit diberikan kepada UKM binaan adalah fasilitas dalam pengembangan teknologi
Dari Hasil penelitian terhadap KSP/USP-P menunjukkan lebih dari separuh (52,38%) Koperasi penyalur MAP berbentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan sisanya (47,62%) berbentuk Unit Simpan Pinjam (USP). Sepertiga KSP/USP kantornya berstatus milik sendiri, 14,29% berstatus pinjamana dna sisanya (52,38%) merupakan sewa.
Sasaran utama dari program dukungan finansial dan non finansial dalam
pengembangan sentra bisnis UKM adalah mengkaji seberapa besar dampak program kebijakan tersebut terhadap perkembangan kinerja usaha UKM, Modal usaha UKM terbesar berasal dari pemilik sendiri (85,47%), sedangkan
kontribusi dana MAP sebesar 8,45%. Selebihnya berasal dari lembaga keuangan (2,73%), dan pinjaman koperasi selain dana MAP (2,18%). Rata-rata setiap UKM menerima MAP sebesar 5,01 juta rupiah dengan jangka waktu pengembalian rata-rata selama 18 bulan. Dalam memperoleh dana MAP sebanyak 36,81% UKM menggunakan agunan
dan 63,81% UKM tidak menggunakan agunan. Rata-rata taksiran nilai agunan yang digunakan UKM sebesar 50,14 juta rupiah, berbentuk sertifikat rumah, surat-surat kendaraan dll. Dana MAP yang diterima tersebut sebagian besar (76,75%) digunakan
Berdasarkan pengakuan UKM yang dibina LPB/BDS-P, persentase banyaknya
UKM yang mengalami peningkatan volume usaha setelah dibina LPB/BDS-P sebanyak
40,83%, yang tidak mengalami perubahan atau tetap saja sebanyak 53,74% dan yang
menurun sebayak 5,43%. Sedangkan untuk indikator keuntungan usaha, persentase
banyaknya UKM yang mengaku mengalami peningkatan setelah dibina LPB/BDS-P
sebanyak 39,18% dan tidak ada UKM yang mengalami penurunan keuntungan.
Kesimpulan
1.Sebagian besar LPB/BDS-P (43,33%) merupakan institusi yayasan, kemudian perguruan tinggi (20%), koperasi (12,33%), perorangan (8,33%) dan lainnya (15,00%), dengan status kantor sebagian besar sewa (48,33), pinjaman (26,67%) dan milik sendiri sebanyak 25. Pada umumnya alokasi kantor LPB/ BDS-P berjarak15,11 km.
2.Sebagian besar Dana MAP yang diterima KSP/USP dipinjamkan kepada anggota dengan rincian sebesar 76,38% untuk anggota UKM dan 11,18% untuk anggota bukan UKM. Sementara itu, MAP yang diinvestasikan di KSP/ USP sebanyak 5,91% dan sisanya 6,53% digunakan untuk keperluan lainnya. Dana MAP ini baru dapat melayani lebih dari sepertiga anggota sedangkan kurang dari dua pertiga anggota lainnya belum menerima dana MAP.
3.Program dukungan non finansial sampai tingkat tertentu dirasakan cukup bermanfaat terutama dalam kaitannya terhadap layanan informasi, pembiayaan, pemasaran dan bahan baku.

Daftar Pustaka

Adiningsih, Sri, Dr; The Indonesia Business Map In AFTA, Indonesian Business, Perspective, Volume V. No. 3, halaman 20, Penerbit, PT Harvest International Indonesia, March, 2003; JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006 64
Business Innovation Center of Indonesia, Bunga Rampai, Lembaga Keuangan Mikro, Bekerjasama dengan kantor Menegkop dan UKM, 2002; BPS, Pengukuran dan Analisis Ekonomi Kinerja Penyerapan Tenaga Kerja, Nilai Tambah dan Ekspor Usaha Kecil Menengah serta Perannya Terhadap Tenaga Kerja Nasional dan Produk Domestik Bruto Menurut Harga Konstan dan Harga Berlaku, Nopember 2002;
Field, Michael 2001:.Market Development of BDS in Transition Economies.. Journal of Developing Alternatives. Volume 7 issu 1. Spring 2001. Field, Michael, Rob Hitchin and Marshall Bear (2000): Designing BDS Interventions As If Markets Matter, USAID, Center for Economic Growth and Agricultural Development. ISBRC-PUPUK, Usaha Kecil Indonesia: Tinjauan Tahun 2002 dan Prospek Tahun 2003,
Penerbit ISBRC-PUPUK bekerjasama dengan LP3E-Kadin, Maret, 2003;
Rong I-Wu, 2002. Policies Nurturing Small and Medium Enterprises: Taiwan.Experiences, Working Paper Series, 99-02E, Taiwan Institute of Economic Research, Taiwan. The Asian Foundation, 1999. Small and Medium Enterprise Development, Mmeo, Jakarta

Review Jurnal Koperasi 26



Nama Anggota Kelompok :


• Nihlah Adawiyah (24210976)
• Rayi Kinasih (25210688)
• Dewi Kencanawati (21210903)
• Ericha Dian N. (22210387)
• Lestari Setyawati (24210005)
• Syiam Noor W. (26210798) 
• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)


PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASi
Johnny W. Situmorang



abstrak
 
pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala daerah juga harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan. Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
daerah lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali

Point-Point

Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang
dikemukakan di atas. Untuk mengetahui
performa propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks, Pendekatan analisis berdasarkan IPEKR atau indeks RCEP tersebut dirumuskan
dalam beberapa persamaan berikut ini
VUKN
VUKR
UEKR ……………………………………………………………………. (1)
Dimana VUKR = volume usaha koperasi regional/propinsi (Rp triliun) dan VUKN = volume usaha koperasi nasional (Rp triliun). Volume usaha koperasi dipakai sebagai indikator ekonomi, UEKR selalu di antara nol dan satu (0<UEKR<1).
PDB
PDRB
UER ……………………………………………………………………. (1)
Dimana PDRB = produk domestik regional bruto dari propinsi dan PDB = produk domestik bruto Indonesia. PDRB merupakan indikator ekonomi utama regional dan PDb sebagai indikator utama perekonomian nasional. Nilai UER adalah di antara nol dan satu (0<UER<1). Semakin tinggi UER maka semakin besar pula kemampuan atau kapasitas
IPEKR atau RCEPI dapat dirumuskan sebagai rasio antara UEKR dengan UER,
yakni:
UER
UEKR
IPEKR …………………………………………………… (3)
Dimana UEKR = ukuran ekonomi koperasi regional dan UER = ukuran ekonomi regional.
IPEKR berada antara nol dan tak terhingga (IPEKR_0). Bila IPEK<1 maka performa atau
rating regional rendah,
IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi Dengan kata lain hanya sebagian kecil dari propinsi yang mampu
menunjukkan performa baik dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini
sebenarnya memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala daerah selalu menempatkan koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting. Performa pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga
menunjukkan pola yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan (KBI dan KTI) sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating tertinggi mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun.
Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02%
dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi
ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di
atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya
sebanyak 7 (tujuh), yakni DKI Yakarta
(1), Jawa Timur
(2), Jawa Barat
(3), Jawa Tengah
(4), Kalimantan Timur
(5), Riau
(6), dan Sumatera Utara
propinsi yang
memiliki kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa
ekonomi koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta
0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi
koperasi (cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya
akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal
tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan
sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi
koperasi terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini
menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi
koperasi secara nasional. pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa
mendominasi perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar
Hasil dari analisis ini memperlihatkan suatu hal yang tidak disangka
sebelumnya secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo
(5.6086) dan terrendah Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai
oleh 12 propinsi, yakni Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku
(2.3113), DI Yogyakarta (1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera
Selatan (1.2468), Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung
(1.0632), dan Sulawesi Tenggara (10239) Dengan rating tersebut, maka secara
berurutan peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai
dengan rating di atas.
Dari tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang
juga terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan
Sumatera mendominasi perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas
nasional merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Tinjauan dari sisi pulau, pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa
mendominasi perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi
Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinja Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi u dari performanya. Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi,
kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan).
Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses
(pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih
banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal,
regional, dan nasional. Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi
kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan
implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi.


DAFTAR PUSTAKA

_____________, (2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity
Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu
Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model
Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi
Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta
13
Situmorang, Johnny W., (2007). Sektor Industri Manufaktur Pilihan Investasi PMDN dan
PMA, Tahun 2001-2006. Communication Paper, CBES. Jakarta, Pebruari.
__________________, (2007). Performa Regional Menarik Investasi PMDN dan PMA, Tahun
2001-2006. CBES-Communication Paper, Maret.
__________________, (2007). Kalimantan Tengah Peringkat Pertama Menarik PMDN.
Feature Website KB. Antara. Mei 2007.
__________________, (2007). Pilihan Investasi PMDN Sektor Industri Manufaktur Dan PMA,
Tahun 2001-2006. CBES-Communication Paper, Maret 2007.
__________________, (2007). Banten Peringkat Pertama Menarik PMA. CBESCommunication
Paper, Mei 2007.
Situmorang, Johnny W, dkk., (2007). Studi Pengembangan Model Pemeringkatan Koperasi.
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM, Kementerian Negara KUKM. Jakarta

Review Jurnal Koperasi 25



Nama Anggota Kelompok :


• Nihlah Adawiyah (24210976)
• Rayi Kinasih (25210688)
• Dewi Kencanawati (21210903)
• Ericha Dian N. (22210387)
• Lestari Setyawati (24210005)
• Syiam Noor W. (26210798) 
• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)



KAJIAN TENTANG PROFIL UKM SUKSES
Rr. Gunari Budiretnowati



Abstrak

Penilaian tahun 2007 membuktikan bahwa meskipun sebagian besar UKM masih dalam lemah
kondisi, tetapi ada bagian lain yang memiliki kreativitas, inovatif kemampuan, dan
entreprenerial semangat yang bisa membuat kita bangga terhadap mereka. Tim ini dikelompokkan ke dalam
UKM sukses.
Sukses UKM kelompok adalah kelompok UKM yang mampu untuk memanfaatkan yang tersedia
sumber daya ekonomi yang rendah memiliki nilai termasuk limbah menjadi bernilai ekonomi tinggi
komoditas. Itu juga membuktikan bahwa kelompok UKM mampu melaksanakan usahanya
kegiatan yang memiliki nilai tambah yang signifikan sehingga menghasilkan nama dan reputatuon yang
adalah wajar untuk mengembangkan kehidupan mereka.
Dalam ketenaran dari pengembangan bisnis UKM sukses, peran suppporting
lembaga pemberdayaan UKM dianggap hended institusi terutama keuangan,
survei dan pemasaran.
Salah satu advine hasil penilaian ini dalam rangka doping dengan
enemployment dan pengentasan kemiskinan sedang melakukan replikasi sukses untuk UKM
lain orang atau di tempat lain berdasarkan praktek terbaik dari UKM sukses dapat
dimulai dengan standardisasi trices keberhasilan UKM melalui discusion, pengelompokan
jenis bisnis dan penilaian tingkat keberhasilan bisnis dan dampak lagi ke
lingkungan.
Dampak dari UKM sukses harus ditinjau secara komprehensif mulai
dari aspek produksi, sosial ekonomi dan polusi lingkungan.
Point-Point
Sampai dengan akhir tahun 2006 BPS menginformasikan bahwa
jumlah UKM yang ada di Indonesia sudah mencapai 48,258 juta, atau
99,99% unit usaha yang ada. Kelompok usaha ini mampu menyerap tenaga
kerja lebih kurang 96,3%
Data tersebut
mengindikasikan bahwa pada dasarnya UKM merupakan kelompok usaha
yang memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran. Salah satu unsur yang diharapkan dapat mendorong
pembangunan usaha baru dari kalangan masyarakat sendiri adalah UKM
sukses. Kelompok ini memang jumlahnya relatif sangat sedikit tetapi
kemampuannya baik dalam memanfaatkan sumberdaya lokal maupun dalam
menemukan potensi-potensi baru yang dapat dikembangkan menjadi usaha
produktif sangat dapat diandalkan.
UKM sukses adalah kelompok UKM yang mampu memanfaatkan
sumberdaya tersedia terutama yang bernilai ekonomi rendah termasuk
limbah menjadi barang-barang yang benilai ekonomi tinggi
Keberhasilan UKM sukses ternyata tidak hanya karena keahlian
yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: a) Jiwa
kewirausahaan dan kreatifitas individual yang melahirkan inovasi; b)
ketersedian bahan baku, iklim usaha, dukungan finansial, ketersediaan
informasi baik pengetahuan dan teknologi, ketersediaan pasar dan dukungan
infrastruktur.
Penularan usaha UKM sukses
yang merupakan penumbuhan usaha baru yang direkayasa, akan
mengandung resiko kegagalan yang cukup besar. Dalam proses
penumbuhan UKM sukses, kreatifitaslah yang melahirkan inovasi baru yang
kemudian menjadi kunci dari tumbuhnya unit usaha dari UKM sukses.dan
Rata-rata aset yang dimiliki Rp 21.580.000 dengan modal kerja
sebesar 9.912.000 atau rata-rata 45,93 persen dari aset. Omset per tahun
rata-rata mencapai Rp 151.159.000 Dari usaha ini UKM sukses rata-rata
memperoleh laba sebesar Rp 59,164 juta per tahun, atau Rp 4.930.330 per
bulan. Bahan baku yang digunakan sebagian
besar (87,5%) berasal dari limbah yang ada di daerahnya, hanya sebagian
kecil yang didatangkan dari luar daerah, dan sebagian bernilai negatif
bagi lingkungan (merupakan polutant). Dari proses pengolahannya menjadi barang-barang yang bernilai
ekonomi jauh lebih tinggi tersebut akan terbentuk nilai tambah yang
merupakan laba bagi pengusaha dan bernilai positif bagi lingkungannya
UKM SUKSES
Sukses Usaha
Pemasaran Produksi keuangan
SDM
Sukses Organisasi manajemen
Legal
Kemitraan
metode sample survey dengan sampel
berciri tertentu yaitu: a) UKM sukses pada berbagai aspek usaha;
b)Memanfaatkan sumberdaya tersedia yang bernilai rendah terutama limbah;
c) memiliki keragaman potensi dan masalah. Sampling lokasi dilakukan
berdasarkan heterogenitas masalah yang akan ditemukan di lapang, dari
berbagai aspek kajian (multidisiplin ilmu). Data yang digunakan terdiri dari
data primer yang diperoleh dari responden sample
Untuk menentukan model profil usaha UKM sukses dianalisis
berdasarkan: a) Faktor dominan penciri kualitas kewirausahaan;
b).hubungan (korelasi) antar aspek pengusaha (pribadi dan jiwa
kewirausahaan) dengan sukses usaha
Gambaran Morphologis UKM Uraian Nilai
Kemampuan Melihat Peluang Usaha
(angka skoring 1 s/d 4)
- Pengetahuan Usaha
- Pengetahun potensi ekonomi
- Pengetahuan sumberdaya potensial
- Pengetahuan nilai barang
- Pengetahuan pasar
Aspek kemampuan melihat peluang usaha
1). Nilai rata-rata UKM contoh dalam penguasaan pengetahuan usaha
mencapai angka 2,25 atau tergolong cukup, menunjukan UKM
sukses sudah cukup mengetahui atau memahami sebelumnya tentang
seluk beluk usaha yang akan dilaksanakan,
2). Pengetahuan tentang potensi ekonomi daerahnya nilai rata-ratanya
mencapai angka 3,25. Dengan perkataan lain UKM contoh sudah
memahami betul potensi ekonomi daerahnya baik potensi fisik.
3). Pengetahuannya tentang sumberdaya potensial yang dimiliki UKM
contoh dengan rata-rata nilai mencapai 1,675
Dalam hal pemasaran sebagian besar (41,02 %) produk UKM
dipasarkan keluar negeri (ekspor) sisanya dipasarkan dalam wilayah
lokal (33,77) dan sebagian lainnya dipasarkan keluar daerah.
beberapa masalah penting yang belum terselesaikan
antara lain karena tidak adanya kepastian harga dan pasar. Hal ini terkait
dengan sistem pemasaran dimana pedagang bertindak sebagai price
maker (penentu harga) sedangkan UKM hanya berperan sebagai price
tacker (penerima harga), juga terkait dengan belum tersedianya
kelembagaan pasar yang kondusif bagi UKM serta kurangnya promosi
produk UKM.
2. Langkah pertama yang diperlukan untuk menyusun best practice UKM
sukses adalah membakukan kiat kiat keberhasilan UKM melalui diskusi.
Berikutnya mengelompokan jenis usaha serta pengkajian tingkat
keberhasilan usaha dan dampak keberhasilan tersebut terhadap
lingkungannya. Dampak UKM suses dilihat secara komprehensif mulai
dari aspek produksi, sosial ekonomi dan pencemaran lingkungan.
Langkah akhir mencari solusi mengatasi permasalahan yang dihadapi.


KESIMPULAN DAN SARAN
 
Kesimpulan, antara lain :
1). Pemberdayaan UKM masih bergelut pada masalah-masalah klasik
seperti kesulitan akses terhadap permodalan, pasar, teknologi dan
informasi. Masalah rendahnya kualitas SDM UKM dan Pengetahuan UKM tentang nilai ekonomi barang yang akan diproduksi
rendah. Kurangnya pengetahuan UKM menyebabkan UKM tidak
mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan nilai tambah yang
dihasilkan. Sebagian besar nilai tambah terserap dalam sistem pasar.
Langkah pertama yang diperlukan untuk menyusun best practice UKM
sukses adalah membakukan kiat kiat keberhasilan UKM melalui diskusi.
Berikutnya mengelompokan jenis usaha serta pengkajian tingkat
keberhasilan usaha dan dampak keberhasilan tersebut terhadap
lingkungannya.
Saran
pengembangan UKM sukses sangat diperlukan peran
lembaga pendukung (lembaga keuangan, penelitian dan pemasaran).
Selain itu dalam rangka mendapatkan kepastian harga dan pasar bagi
UKM sukses, perlu dikembangkan lembaga pemasaran.
Oleh karena penguatan permodalan UKM tidak selalu dapat dilakukan
dengan penumbuhan lembaga keuangan bank, disarankan
mengembangan lembaga perkreditan alternatif seperti koperasi, BMT
atau bentuk-bentuk lembaga keuangan lainnya yang ideal untuk UKM.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, (2007). Laporan Hasil Kajian Tentang Profil UKM Sukses. Kerjasama
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK dengan PT. Teknovasi
Sejahtera Mandiri. Jakarta1
 

Review Jurnal Koperasi 24



Nama Anggota Kelompok :


• Syiam Noor W. (26210798)
• Rayi Kinasih (25210688)
• Dewi Kencanawati (21210903)
• Ericha Dian N. (22210387)
• Lestari Setyawati (24210005)
• Nihlah Adawiyah (24210976)
• Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)

Jannes Situmorang
KAJI TINDAK PENINGKATAN PERAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF

I. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber- sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. Koperasi dan UKM belum mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank yang masih terbatas. Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi. Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai lembaga keuangan alternatif.
2.Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut:
1).Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
3.Tujuan dan Manfaat

Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan sebagai lembaga keuangan alternatif

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI).
Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan alternatif? Ada yang berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang menggunakan sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan bukan sistem bagi hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada kedekatan dan orientasi pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil. Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut.
Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c). sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro.
Kelemahannya adalah :
a). skala usaha kecil,
b). permodalan terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen,
b). peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan, standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalm penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.
3. Pola Tabungan dan Pembiayaan

1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
(1). Tabungan persiapan qurban;
(2). Tabungan pendidikan;
(3). Tabungan persiapan untuk nikah;
(4). Tabungan persiapan untuk melahirkan; (5). Tabungan naik haji/umroh;
(6). Simpanan berjangka/deposito;
(7). Simpanan khusus untuk kelahiran;
(8). Simpanan sukarela;
(9). Simpanan hari tua;
(10). Simpanan aqiqoh.

2). Pola Pembiayaan Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas: • Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing. • Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua
(mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung. • Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar. • Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. • Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah: • Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian. • Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu. • Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama. • Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur. • Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya. 4. Pembentukan BMT Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :

1) memajukan kesejahteraan anggota dan masyarakat umum,

2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil dengan pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut: Pertama, para pendiri minimum 20 orang.
Para pendiri menghubungi PINBUK setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga, mempersiapkan modal awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat, jika bermaksud menjadi koperasi, BMT dapat segera mengajukan permohonan badan hukum koperasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat setempat yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain berminat membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan formal, pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang yang terdiri dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3 orang yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian administrasi/keuangan dan bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan mencari anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain: arisan, simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan lain-lain.
5. Pembiakan BMT BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri, membentuk pengurus dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.
III. METODE KAJIAN
1 Lokasi dan Objek Kajian Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2 Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3 Penarikan Sampel BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.
4 Model Analisis. Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.
5 Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya. 1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2). Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7). Sarana Usaha.

1). Pelayanan Mudah, Murah dan Cepat Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa BMT menempuh cara-cara yang mudah dan murah dalam memberikan pelayanan kepada para nasabah/anggota. Sebagai contoh,untuk mendapatkan pembiayaan, katakanlah dibawah Rp. 300.000,- nasabah cukup mengisi formulir permohonan pinjaman dan diikuti dengan peninjauan lokasi dan pengamatan usaha yang bersangkutan. Untuk pembiayaan yang sangat kecil ini biasanya BMT tidak mensyaratkan agunan tambahan, kecuali pembiayaan di atas Rp.500.000,-. Untuk menjamin pembiayaan kembali tepat waktu dan jumlah, BMT cukup menilai kelayakan usaha dengan cara mendatangi lokasi usaha. Penilaian kelayakan usaha dimaksudkan untuk memperkirakan kemampuan mengembalikan dalam jumlah dan waktu yang tepat. Umumnya permohonan pinjaman dapat disetujui atau ditolak dalam tempo kurang dari 1 minggu. Bagi nasabah lama jangka waktu pengembalian keputusan untuk menolak atau menerima pengajuan pembiayaan bisa lebih pendek lagi yaitu antara 1 – 3 hari. Selain itu, biaya pengurusannya sangat murah yaitu dalam bentuk pungutan biaya administrasi dan meterai. Data lapang menunjukkan bahwa BMT memungut biaya dari 68% nasabah sebesar 0,5% - 1%, sebanyak 2% dari 21% nasabah dan Rp.2.000,- dari 11% nasabah peminjam.
2). Pertumbuhan Asset BMT Dilihat dari sisi debet neraca BMT, assetnya terdiri dari aktiva lancer dan aktiva tetap. Sementara dilihat dari sisi kredit pada neraca, asset BMT merupakan penjumlahan simpanan suka rela dan jumlah modal yang dimiliki.Nilai asset dapat mencerminkan kekayaan dan kewajiban BMT kepada para pemilik maupun pihak ketiga. BMT yang assetnya mengalami pertumbuahan terus menerus berarti BMT itu selain tumbuh makin besar, juga berarti semakin dipercayai baik oleh pihak pemilik maupun pihak ketiga. Tabel 1 menunjukkan bahwa BMT yang memiliki asset senilai kurang dari Rp.10 juta sebanyak 15%, kemudian yang memiliki Rp.10 juta s/d Rp.30juta sebanyak 51%, yang memiliki asset Rp.30 juta s/d Rp.60juta sebanyak 17%, yang memiliki asset Rp.60juta s/d Rp.100juta sebanyak 10% dan yang memiliki asset lebih dari Rp.100juta sebanyak 5%. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar BMT memiliki asset di bawah Rp.30 juta. Menganalisis asset BMT dari nilai besarannya tidaklah cukup, karena itu perlu memperhatikan tingkat pertumbuhannya. Angka-angka pertumbuhan dapat mencerminkan tingkat perkembangan BMT yang sesungguhnya. Hampir semua BMT yang diteliti menunjukkan pertumbuhan asset yang sangat cepat.
3). Kemampuan Menyediakan Pembiayaan Dari BMT sampel yang diamati terlihat adanya peningkatan kemampuan atas penyediaan pembiayaan usaha kecil. Nasabah usaha kecil yang dilayani BMT adalah pedagang pasar, bakul sayur, tukang bakso, pedagang eceran, warung, pedagang keliling dan usaha mikro lainnya. Mereka membutuhkan modal kerja dengan perputaran harian, mingguan atau bulanan. Hasil penelitian atas BMT menunjukkan (lihat Tabel 3) bahwa BMT melayani pinjaman mingguan sebanyak 26% dan pinjaman bulanan sebanyak 74%.
4). Kebutuhan Tambahan Modal Pada umumnya tambahan bantuan modal digunakan untuk memperbesar usaha di sektor riil. Pada Tabel 8 terlihat besarnya kebutuhan bantuan dari sejumlah sampel yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 31% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar kurang dari Rp.10juta sebanyak 19% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar Rp.10juta s/d Rp. 25juta sebanyak 22% BMT membutuhkan tambahan modal Rp.25juta s/d Rp. 50juta dan sebanyak 28% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar lebih dari Rp. 50juta.
5). Mobilisasi Tabungan Agar masyarakat terdorong dan gemar menabung, sebaiknya diberikan insentif dalam bentuk bagi hasil yang disampaikan melalui kegiatan promosi, leaflet dan penyuluhan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pengurus majelis taklim. Nisbah bagi hasil yang diberikan kepada para penabung bervariasi antar BMT. Tabungan yang jangka waktunya lebih panjang mendapatkan nisbah bagi hasil lebih besar dibanding yang jangka waktunya lebih pendek.
6). Kemampuan Menghasilkan Laba BMT sebagai lembaga keuangan alternatif dapat menghasilkan profit yang cukup besar. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar BMT yang diamati menghasilkan profit sebesar kurang dari Rp. 500.000,- sebanyak 16%; profit sebesar antara Rp.500.000,- s/d Rp.1juta sebanyak 28%; profit sebesar antara Rp.1 juta s/d Rp5 juta sebanyak 23%; profit sebesar antara Rp. 5juta s/d Rp. 10juta sebanyak 23% dan profit sebesar lebih besar dari Rp. 10juta sebanyak 5%.
7). Sarana Usaha Data lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT sampel tidak memiliki tempat usaha berupa tanah dan bangunan. Dalam menjalankan usahanya, BMT umumnya masih mengontrak tempat, menumpang atau karena mendapat hibah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12,13,14 berikut. Tabel 12 menunjukkan, hanya 11% BMT yang memiliki tanah sendiri, 56% mengontrak/menyewa, 16% menumpang dan 17% mendapat hibah.
2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili faktor-faktor berikut:
(1). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT,
(2). Tingkat kemandirian,
(3). Keaktifan pengurus BMT, dan
(4). Kualitas pengelola.

(1). Peran Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT Proses pendirian BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi tetapi yang lebih penting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariah yang diyakini para pendirinya dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan masa depan keberadaan BMT. Peranan tokoh masyarakat sangat dominan dalam pendirian BMT. Peranan para tokoh ini dapat dilihat dari jumlah orang yang mendirikan BMT. Semakin banyak pendiri BMT, diasumsikan semakin sehat BMT yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit pendiri BMT, diasumsikan semakin tidak sehat BMT tersebut. Pendiri dianggap banyak bila pendirinya lebih dari 20 orang dan dianggap sedikit jika pendirinya kurang dari 20 orang. Tabel 15 menunjukkan jumlah BMT yang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat. Terlihat bahwa sebanyak 38% BMT hanya didukung oleh kurang dari 20 orang pendiri.dan sebanyak 62% BMT sampel didirikan oleh lebih 20 orang pendiri
2). Tingkat Kemandirian Hasil pengamatan lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, pengurus majelis taklim. Para pendiri ini menyediakan modal seadanya, yakni berkisar antara kurang dari Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta
(3). Keaktifan Pengurus BMT Secara ideal untuk menilai keaktifan pengurus harus dilakukan pengamatan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Namun, karena hal ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu dan sumberdaya lainnya maka peneliti menggunakan variabel kehadiran sebagai pendekatan untuk menjelaskan keaktifan pengurus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pengurus yakni ketua, sekretaris dan bendahara
(4). Kualitas Pengelola Pengelola BMT terdiri dari manajer, bagian keuangan, bagian pembiayaan dan penagihan, serta sekretariat. Masing-masing pengelola mempunyai tanggung jawab dan wewenang. Pengelola yang bermutu dapat mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Pengertian mutu pengelola umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan standar kompetensi untuk menjalankan BMT. Pengelola yang berpendidikan lebih tinggi diasumsikan lebih bermutu dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah. Standar kompetensi pengelola BMT diartikan sebagai kemampuan pengelola menjalankan standar operasi BMT sesuai dengan prinsip Bank Syariah. Pengelola harus memiliki skill/ketrampilan dalam mengelola usaha. Ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan dari PINBUK setempat
2). Kesehatan Keuangan Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT. Banyak cara yang dipakai untuk menilai kesehatan keuangan BMT seperti :

(1). Struktur permodalan,
(2). Kualitas aktiva produktif,
(3). Likuiditas,
(4). Rentabilitas,
(5). Efisiensi.


(1). Struktur Permodalan Keberadaan/kesehatan lembaga keuangan sangat tergantung dari kepercayaan nasabah/masyarakat, karena itu kepercayaan adalah segala- galanya bagi lembaga keuangan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui dan menghitung kesehatan struktur permodalan BMT yaitu menghitung rasio antara Modal dan Simpanan.

Modal adalah seluruh nilai simpanan pokok khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan, laba/rugi. Simpanan adalah seluruh nilai simpanan sukarela, (misalnya simpanan mudhrobah, Idul Fitri, pendidikan dsb termasuk untung kepada pihak ketiga)

(2). Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Kredit yang dikeluarkan harus disalurkan pada orang/nasabah yang tepat. Tepat berarti tepat jumlah dan waktu, tepat orang, tepat penggunaan, dan tepat pengembaliannya sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Kualitas aktiva produktif diartikan sebagai sejumlah pembiayaan yang dapat menghasilkan pendapatan/bagi hasil dengan sedikit mungkin menimbulkan kredit macet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persyaratan jaminan hanya diberikan kepada peminjam skala besar. Jaminan itu berupa sertifikat tanah, BPKB, barang atau akte/surat-surat berharga lain.


(3). Likuiditas Tersedianya secara cukup dana kas dan bank (aktiva yang paling likuid) yang dapat diuangkan sewaktu-waktu menjadi jaminan kesehatan likuiditas bagi BMT yang bersangkutan. Tersedianya dana likuid juga memberikan rasa aman bagi penabung/nasabah. BMT yang sehat dan likuid adalah BMT yang mampu menjaga tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar. Bila dana kas dan banknya terlalu kecil bisa disebut BMT yang illikuid, sementara yang terlalu besar dana likuiditasnya bisa dikategorikan sebagai BMT yang memegang dana yang idle (menganggur). BMT yang illikuid akan menimbulkan penurunan kepercayaan dari masyarakat, sementara bagi BMT yang banyak idle memberi dampak pada tingginya cost of fund, karena selama uang itu menganggur, BMT harus membayar bagi hasil kepada si penyimpan. Adapun rumus untuk menentukan apakah BMT memenuhi kesehatan likuiditas adalah sebagai berikut.

(4). Rentabilitas Rentabilitas dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan rentabilitas adalah sebagai berikut.

(5). Efisiensi Efisiensi dapat diartikan sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu. Biaya operasional meliputi biaya bagi hasil simpnan, overhead cost seperti listrik, karyawan, telepon, biaya penagihan dll. Pendapatan operasional terdiri dari pendapatan bagi hasil, mark up dan hasil kegiatan pendanaan suatu usaha nasabah.Efisiensi usaha BMT dapat diukur dengan menghitung rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Jika rasionya >1 berarti BMT mengalami kerugian dan bila <1 berarti BMT mendapat keuntungan.


KESIMPULAN DAN SARAN 
1. Kesimpulan 1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat. 
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain. 
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya. 
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar. 
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam. 
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan karena pailit maka pinjaman diputihkan. 
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )

8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat. 
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan, kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat, sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat. 

2. Saran 

1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat. 
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri. 
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT. 

DAFTAR PUSTAKA 
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta. Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK, Jakarta. Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta. Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta. Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta. Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas. Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Majalah PINBUK. 



Review Jurnal 

I[Artikel - Th. II - No. 5 - Agustus 2003]
KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN 
Jannes Situmorang 
ABSTRAK

Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan koperasi dan UKM.
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga, bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI)

Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. 
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama

POINT-POINT

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber- sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. 

2. Rumusan Masalah 
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut: 

1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM? 
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM? 

3.Tujuan dan Manfaat 
Kajian ini bertujuan untuk: 
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. 
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan sebagai lembaga keuangan alternatif

II. TINJAUAN PUSTAKA 

1.Pengertian 
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan koperasi dan UKM.
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga, bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI)

2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. 

3. Pola Tabungan dan Pembiayaan 
1). Tabungan Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT.
2). Pola Pembiayaan Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
3). Pembiayaan Non Profit Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya. 

4. Pembentukan BMT Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk : 
1) memajukan kesejahteraan anggota dan 
2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil 

5. Pembiakan BMT BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya

III. METODE KAJIAN 

1. Lokasi dan Objek Kajian Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri. 
2. Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah. 
3. Penarikan Sampel BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan. 
4. Model Analisis. Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif. 
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan 
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara. 

IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN 

Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya. 1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2). Pertumbuhan asset BMT, 
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan, 
4). Kebutuhan tambahan modal, 
5). Mobilisasi tabungan, 
6). kemampuan menghasilkan laba,
7). Sarana Usaha. 

2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. 
2). Kesehatan Keuangan Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT. 
KESIMPULAN DAN SARAN 

1. Kesimpulan 
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat. 
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain. 
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya. 
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar. 
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam. 
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan karena pailit maka pinjaman diputihkan. 
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )

8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat. 
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan, kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat, sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat. 

2. Saran 
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat. 
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri. 
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT. 

DAFTAR PUSTAKA 
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta. Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK, Jakarta. Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta. Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta. Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta. Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas. Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Majalah PINBUK.

 

Review Jurnal Koperasi 23




Nama Anggota Kelompok :

Rayi Kinasih = 25210688
Lestari Setyawati = 24210005
Dewi Kencanawati = 21210903
Ericha Dian N. = 22210387
Syiam Noor W. = 26210798
Nihlah Adawiyah = 24210976
Dwikie Bayu Ramadhan = 22210218


 
KAJIAN TENTANG KETERKAITAN KOPERASI SEKUNDER DENGAN KOPERASI PRIMER ANGGOTANYA*)
Togap Tambunan dan Jannes Situmorang



Abstrak

Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi.
Beberapa contoh Koperasi Sekunder yang dikenal antara lain INKOPOL, INKOPKAR, IKPRI, INKOPDIT, INKUD, IKPI, GKBI, GKSI, PUSKUD, PUSKOPDIT, PUSKOPTI, PUSKOPKAR, PUSKSP, dan lain-lain. Hingga saat ini tercatat terdapat 156 koperasi sekunder tingkat nasional yang terdiri dari 63 Induk Koperasi, 7 koperasi berbentuk Gabungan, dan 86 koperasi lainnya berbentuk Pusat (Kementerian Koperasi dan UKM, 2005).
Fungsi koperasi sekunder secara spesifik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah (1) Berfungsi sebagai jaringan dengan sekurang-kurangnya 3 anggota untuk menciptakan skala ekonomis dan posisi tawar, dan (2) Berfungsi sebagai ”subsidiaritas”
Pada umumnya sebagian koperasi primer mengalami perkembangan yang makin maju, sebagian lagi tidak mengalami kemajuan berarti atau tetap statis dan sebagian lainnya malah makin menurun.
Koperasi primer anggota dari koperasi sekunder yang terpilih dalam penelitian ini berjumlah 107 koperasi. Jumlah ini dikategorikan menurut 12 jenis koperasi sekunder tingkat provinsi dengan perincian sebagai berikut: (1) KUD, 26 koperasi; (2) KUD Susu, 4 koperasi; (3) KOPDIT, 11 koperasi; (4) KUD MINA, 2 koperasi; (5) KPRI, 24 koperasi; (6) KOPPAS, 6 koperasi; (7) KOPPONTREN, 1 koperasi; (8) KSP, 7 koperasi; (9) KOPWAN, 5 koperasi; (10) KOPPOLDA, 12 koperasi, dan (11) KSU, 9 koperasi.

Point-Point
1. Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi
2. koperasi primer mengalami perkembangan yang makin maju, sebagian lagi tidak mengalami kemajuan berarti atau tetap statis dan sebagian lainnya malah makin menurun.


Kesimpulan

Dilihat dari pelaksanaan keseluruhan fungsi integrasi vertikal, koperasi sekunder terkait dengan koperasi primer anggotanya. keterkaitan ini signifikan atau nyata namun memiliki tingkat hubungan yang lemah.
Dari sisi pelaksanaan kelompok fungsi integrasi vertikal masing-masing fungsi-fungsi kelembagaan, fungsi-fungsi usaha, dan fungsi-fungsi penunjang, koperasi sekunder terkait dengan koperasi Primer anggotanya. Keterkaitan ini juga signifikan namun tingkat keterkaitannya lemah.

DAFTAR PUSTAKA
Agresti. A. and Barbara. F. Statistical Methods for the Social Sciences. Prentice Hall, New Jersey.
Anonim, (1992). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
------------- (2004). Pedoman Pengembangan Koperasi Khusus Koperasi Sekunder di DKI Jakarta Tahun 2004. Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi DKI Jakarta, Jakarta.
-------------, (2006). Solusi Koperasi & Usaha Kecil. Warta Koperasi. No. 164, Maret 2006, Jakarta.
Bayu Krisnamurthi, (1988). Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di Jawa Barat. Suatu Kajian Cross-Section. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Djarwanto, (1999). Statistik Nonparametrik. BPFE Yogyakarta.
Donald Ary, L. Ch. Yacobs and Razavich, (1979). Introduction in Research Education 2nd Editon. Hott Rinehart and Winston, Sydney.
Earl R. Babie, (1973). Survey Research Methods. Belmont, Wadsworth Publication Co., California.
Hadi. S, (1987). Statistik II. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
ICA, (1995). Farmer Organizations and Rural Cooperatives. International Cooperative Aliance (ICA) Communication, May 1995.
(//gopher.adp.wisc.edu:70)
Partomo. S.T. dan Abdul Rahman S, (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Penerbit, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta.
Suwandi, (1987). Koperasi Organisasi Ekonomi yang Berwatak Sosial. Bharata, Jakarta.
Suwandi, (2005). Revitalisasi Koperasi Sekunder Nasional. Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, No: 26 Tahun XX 2005, Jakarta.
JURNAL VOLUME 4 - AGUSTUS 2009 : 140-160