Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net


Senin, 14 November 2011

Review Jurnal Koperasi 9

Nama Anggota Kelompok :

  • Lestari Setyawati (24210005)
  • Rayi Kinasih (25210688)
  • Dewi Kencanawati (21210903)
  • Ericha Dian N. (22210387)
  • Syiam Noor W. (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan (22210218)


Kajian Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Latar Belakang

Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen, berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggotanya, dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan.
Selama era tahun 1980-an, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras.
Meskipun demikian dari sisi konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi. Sementara itu, di dalam negeri telah terjadi berbagai perubahan seiring dengan berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan kondisi tersebut membawa konsekuensi serius dalam hal pengadaan bahan pangan. Secara konseptual liberalisasi ekonomi dengan menyerahkan kendali roda perekonomian kepada mekanisme pasar ternyata dalam prakteknya belum tentu secara otomatis berpihak kepada komunitas ekonomi lemah atau kecil. Kondisi yang relatif identik berlangsung di sektor pangan dan diperkirakan karena belum tertatanya sistem produksi dan distribusi dalam mengantisipasi perubahan yang sudah terjadi. Semula peran Bulog sangat dominan dalam pengadaan pangan dan penyangga harga dasar, tetapi sekarang setelah tiadanya paket skim kredit pengadaan pangan melalui koperasi dan dihapuskannya skim kredit pupuk bersubsidi, maka pengadaan pangan hampir sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sebagai dampaknya, peran koperasi dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan semakin tidak berarti lagi. Bahkan sulit dibantah apabila terdapat pengamat yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000) terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir (tahun 2001–2003), terdapat kesenjangan antara produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen.
Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan nasional.

Dimensi Permasalahan
Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius bagi ketahanan pangan nasional. Kepmen Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/ KUD menyalurkan pupuk kepada petani. Dampak kebijakan ini adalah petani mudah memperoleh pupuk, tepat waktu, dan harga terjangkau (memenuhi Prinsip 6 Tepat). Kini kebijakan tersebut telah berubah menjadi Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik oleh swasta maupun koperasi/KUD.
Dampak perubahan kebijakan ini adalah terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD
dalam penyaluran pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003).
Padahal koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras, dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi.
Akumulasi kelangkaan dan kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri selanjutnya akan dijadikan alasan untuk membuka impor beras meskipun kita tahu bahwa hal ini mengancam dan merugikan para petani.
Dalam hal pengadaan gabah/beras dan penyalurannya kepada konsumen, kini tidak ada lagi skim kredit bagi koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama pada waktu panen raya.
Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional. Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.
Berdasarkan masalah di atas perlu dianalisis sejauh mana efektifitas perubahan kebijakan pemerintah dimaksud (distribusi pupuk dan pengadaan beras) yakni menyalurkan pupuk kepada petani guna meningkatkan produksi gabah dan pengadaan gabah/beras untuk pencapaian ketahanan pangan bagi masyarakat. Juga perlu dikaji pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi guna memperkuat ketahanan pangan nasional.

Tujuan Kajian
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan, berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.
2. Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras, di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
4. Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi guna
mendukung ketahanan pangan nasional.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai perubahan kebijakan yang ada.
2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan pengadaan gabah/beras oleh koperasi.
3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.
4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.
5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa daerah.
6. Kebijakan daerah dan kebijakan nasional untuk ketahanan pangan.

Pembahasan
Secara umum bab ini membahas tentang distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras berdasarkan analisis masing-masing propinsi sampel penelitian. Untuk menjawab tujuan pertama yakni faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan maka dilakukan analisis perilaku. Analisis perilaku adalah analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pupuk dari Lini II atau level propinsi hingga ke petani, kemudian penggunaan pupuk petani mempengaruhi produksi gabah mereka, dan produksi gabah tersebut mempengaruhi pendapatan petani.
Selanjutnya produksi gabah petani mempengaruhi jumlah pembelian gabah koperasi dan produksi beras yang dapat dihasilkan koperasi. Produksi beras koperasi akan mempengaruhi volume usaha yang dicapainya yang berarti kinerja koperasi akan juga dipengaruhi. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan-persamaan pada distribusi pupuk dan kemudian pada penggunaan pupuk petani, pada akhirnya akan mempengaruhi persamaan-persamaan pada koperasi. Dengan demikian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan akan dimulai dari analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pupuk.
Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga dilakukan analisis simulasi. Simulasi dibagi atas dua kelompok yaitu (1) kelompok simulasi untuk evaluasi kebijakan dan (2) kelompok simulasi alternatif. Secara spesifik, untuk mengetahui efektif tidaknya kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang ada sekarang (tujuan kedua), simulasi (kelompok pertama) dilakukan melalui dua skenario. Tujuan kedua skenario tersebut adalah untuk melihat dampak yang ditimbulkan pada nilai-nilai peubah di dalam model. Jika hasil yang ditimbulkan skenario tersebut adalah baik (positif) maka dikatakan skenario tersebut efektif meningkatkan nilai peubah endogen model.
Sebaliknya jika hasil yang ditimbulkan adalah buruk (negatif) maka skenario tersebut tidak efektif atau berdampak menurunkan nilai peubah endogen model. Simulasi alternatif untuk menjawab tujuan ketiga dimaksudkan untuk menemukan kebijakan alternatif dalam upaya mengatasi kelangkaan pupuk, meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani, meningkatkan produksi beras koperasi untuk menunjang ketahanan pangan serta meningkatkan kinerja koperasi dalam bidang pangan. Hasil skenario alternatif tersebut digunakan sebagai landasan untuk membentuk model alternatif (tujuan keempat) yang dapat diimplementasikan oleh koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.

Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer
Pengadaan pupuk setiap tahun pada level propinsi ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Jumlah pupuk yang ditetapkan disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Secara alami kebutuhan pupuk ditentukan oleh permintaan atau kebutuhan semua kabupaten-kabupaten yang ada, dan diasumsikan dari waktu-waktu kebutuhan tersebut terus meningkat. Untuk mengetahui kondisi riil pengadaan pupuk masing-masing daerah sampel penelitian, peubah harga pupuk turut digunakan sebagai alat evaluasi terkait dengan realisasi pengadaan dan penyaluran pupuk.
Pada masing-masing propinsi sampel (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah), kegiatan penyaluran pupuk memiliki pasar terintegrasi antara pasar level atas (level propinsi) dan pasar level bawah (level petani). Para pengecer yang menyalurkan pupuk kepada petani, menyediakan jumlah pupuk sesuai kebutuhan petani. Jumlah kebutuhan pupuk level petani mempengaruhi jumlah yang harus disediakan level kabupaten dan propinsi.
Pada Lini III atau level kabupaten, jumlah pengadaan pupuk ditentukan oleh jumlah pengadaan yang dilakukan oleh para pengecer swasta dan pengecer koperasi, dan harga-harga pupuk level kabupaten dan level pengecer. Harga pupuk terutama pada level pengecer sering muncul sebagai faktor pendorong kuat bagi para pengecer untuk meningkatkan pengadaannya guna meraih keuntungan. Harga pupuk dapat naik melebihi HET jika terjadi kelangkaan pupuk di pasar. Peluang seperti ini akan dimanfaatkan oleh para pengecer pupuk.
Pada level pengecer (Lini IV), sesuai kebijakan pupuk saat ini dimana penyaluran pupuk bersubsidi diserahkan kepada pasar, para pengecer swasta mengambil peran sangat dominan dalam penyaluran pupuk kepada petani. Sementara itu data lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan pengecer koperasi di setiap propinsi dalam penyaluran pupuk kepada petani hanya sekitar 30%. Sesuai kondisi ini, pengadaan pupuk level pengecer diwakilkan oleh pengadaan pengecer swasta. Secara teoritis jumlah pupuk yang harus disediakan oleh para pengecer dan dijual kepada petani tergantung pada jumlah permintaan pupuk petani. Dari sisi produsen, harga merupakan peubah indikator atau sebagai signal seberapa banyak jumlah yang harus mereka tawarkan ke pasar.

Harga Pupuk Tingkat Petani
Penelitian ini menggolongkan para petani atas dua kelompok yaitu petani anggota koperasi dan petani non-anggota koperasi. Umumnya harga pupuk yang berlaku pada kedua kelompok petani ini relatif sama. Dengan demikian persamaan harga pupuk dari petani anggota koperasi dapat digunakan untuk mewakili kedua golongan petani tersebut.
Harga pupuk di tingkat petani seharusnya sebesar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Akan tetapi harga tersebut hanya berlaku jika pemerintah berhasil mengendalikan pasar yakni mengendalikan jumlah persediaan agar sesuai permintaan  konsumen. Jika tidak, pasar akan terdistorsi yakni terjadi excess demand dan atau sortage supply maka harga pupuk akan berubah sesuai kondisi pasar yang ada.
Kondisi empiris menunjukkan para petani sering kesulitan mendapatkan pupuk pada saat musim tanam. Kondisi ini sudah pasti mempengaruhi harga pupuk yang seharusnya berlaku di tingkat petani yakni sebesar HET. Fakta di lapangan, petani membeli pupuk dengan harga yang jauh di atas HET. Juga pupuk sering langka di pasar. Jadi, harga pupuk di tingkat petani koperasi disini digunakan untuk mengetahui kondisi riil di lapangan.
Harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh jumlah pupuk yang disediakan baik oleh pengecer koperasi maupun pengecer swasta. Juga harga pupuk ditentukan oleh kondisi kekurangan persediaan pupuk di tingkat petani yang dalam hal ini dapat dijelaskan oleh peubah SISA. Peubah SISA adalah selisih jumlah pupuk antara pengadaan level propinsi dan jumlah yang disediakan para pengecer. Harga pupuk di tingkat petani juga ditentukan oleh perbedaan harga yang terjadi antara HET dan harga tebusan pupuk di tingkat pengecer.

Penggunaan Pupuk oleh Petani
Jumlah permintaan pupuk baik petani anggota maupun non-anggota koperasi ditentukan oleh luas areal sawah masing-masing, ketersediaan pupuk yang disuplai oleh para pengecer dan harga pupuk di tingkat petani. Disini, harga pupuk diwakili oleh harga pada petani anggota koperasi karena harga pupuk di tingkat petani anggota maupun nonanggota koperasi relatif sama.

Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani
Jumlah produksi gabah para petani ditentukan oleh luas areal sawah mereka masing-masing, jumlah penggunaan pupuk, dan tingkat harga gabah di pasar. Secara teoritis, sebuah produksi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input yang dalam hal ini adalah luas areal sawah dan jumlah pupuk, dan tingkat harga jual produk yang dihasilkan.
Jika petani dalam proses produksinya berorientasi ke pasar maka tingkat harga gabah akan merupakan indikator keberhasilan yang akan dicapai petani. Harga gabah Bulog tidak dimasukan ke dalam persamaan karena data lapangan menunjukkan petani tidak menjual
gabahnya ke Devisi Bulog atau Dolog setempat.
Jumlah pejualan gabah petani anggota dan non-anggota koperasi ditentukan oleh jumlah produksi gabah mereka masing-masing dan harga gabah koperasi dan tengkulak. Sedangkan pendapatan petani anggota dan non-anggota koperasi ditentukan oleh jumlah
penjualan gabah mereka, harga gabah yang ditetapkan koperasi dan para tengkulak, dan besar biaya produksi masing-masing petani. Peubah harga koperasi dan harga para tengkulak dimasukkan bersama-sama dalam masing-masing persamaan pendapatan petani untuk melihat kontribusi masing-masing terhadap pendapatan para petani.
Dalam hal pendapatan petani, umumnya pada semua propinsi besaran pendapatan petani non-anggota koperasi akan mengalami peningkatan sejalan dengan kenaikan jumlah penjualan gabah dan harga gabah di pasar. Sebaliknya pendapatan petani menurun sejalan dengan kenaikan biaya produksi petani masing-masing. Pada semua propinsi, peubah jumlah penjualan gabah memiliki respon kuat terhadap peningkatan pendapatan petani. Sedangkan peubah harga gabah dan biaya produksi hanya memiliki respon lemah. Data lapangan menunjukkan baik harga gabah maupun biaya produksi petani relatif tidak mengalami fluktuasi drastis. Secara umum harga gabah ditetapkan berdasarkan harga pembelian pemerintah dan harga tersebut cenderung mengalami
perubahan lebih dari satu tahun.
Dengan demikian kedua peubah tersebut tidak cukup kuat menimbulkan perubahan berarti pada pendapatan petani. Oleh karena itu upaya meningkatkan pendapatan petani padi/gabah dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan penjualan gabah petani.

Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak
Harga gabah yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak pada dasarnya berpedoman pada harga pembelian pemerintah. Secara empiris, harga yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak di pasar ditentukan oleh jumlah produksi dan penjualan gabah para petani. Juga harga gabah yang ditetapkan berpedoman pada tingkat harga pupuk level petani. Di dalam pasar produk terdapat hubungan yang erat antara input dan output. Harga-harga input dapat mempengaruhi penetapan harga output yakni semakin
tinggi harga input maka penetapan harga output juga makin tinggi. Karena itu untuk mengetahui perilaku penetapan harga gabah baik pada koperasi maupun para tengkulak, dimasukan variabel harga pupuk kedalam kedua persamaan harga gabah.
Data lapangan menunjukkan bahwa pasar gabah bersifat persaingan monopolistis dimana terdapat sejumlah pembeli gabah yakni pihak koperasi dan para tengkulak yang saling bersaing mendapatkan gabah petani. Para petani berpeluang memilih pembeli gabah yang menguntungkan dan memberi kemudahan kepada mereka. Karena itu kedalam masing-masing persamaan harga gabah dimasukkan juga harga gabah kompetitor masing-masing.
Harga gabah yang ditetapkan koperasi makin bergerak naik searah gerak kenaikan harga gabah tengkulak, gerakan kenaikan jumlah penjualan petani dan gerakan kenaikan harga pupuk. Penjualan gabah petani dapat dilakukan setiap saat sesuai kebutuhan petani dan kondisi harga pasar. Karena itu hubungan positif antara kenaikan harga gabah dan jumlah penjualan petani dapat saja terjadi.
Sementara penetapan harga gabah yang bergerak naik searah kenaikan harga pupuk merupakan hal yang normal karena pupuk adalah input dalam produksi gabah. Sedangkan kenaikan jumlah produksi yang menjelaskan surplus saat panen raya, menyebabkan harga gabah koperasi menurun.
Kompetisi harga gabah antara koperasi dan tengkulak dapat dilihat dari hubungan positif antara keduanya. Gerak kenaikan harga gabah yang ditetapkan tengkulak dapat mendorong kenaikan harga gabah yang ditetapkan koperasi. Pada dasarnya hal ini dilakukan untuk mendapatkan lebih banyak petani dan jumlah gabahnya.
Pada para tengkulak, penetapan harga gabah meningkat searah kenaikan harga pupuk. Tetapi dalam hal jumlah produksi dan penjualan gabah, para tengkulak mengambil sikap yang berbeda. Pada koperasi, penurunan harga gabah terjadi bersamaan jumlah produksi yang melimpah saat panen raya. Tetapi bagi tengkulak, penetapan harga gabah yang lebih rendah dilakukan pada saat-saat penjualan gabah petani melimpah. Inilah sikap para tengkulak sebagai pelaku bisnis murni dibanding koperasi yang lebih dominan kepada
pelayanan sosial.
Sebagai pesaing dalam pembelian gabah petani, gerak kenaikan harga gabah koperasi akan mendorong para tengkulak menaikan harga gabahnya. Hal seperti ini juga dilakukan oleh pihak koperasi. Tetapi perbedaan diantara mereka adalah sesuai nilai elastisitas masing-masing yakni reaksi tengkulak sangat kuat sedangkan reaksi koperasi lemah. Ini menunjukkan ketika koperasi menaikan harga gabah, para tengkulak langsung memberikan respon sangat kuat menaikan juga harga gabah mereka. Sebaliknya jika tengkulak yang menaikkan harga gabahnya, tidak begitu mendapat respon yang kuat dari pihak koperasi untuk turut menaikkan harga gabahnya.
Jika dibandingkan respon peubah-peubah jumlah produksi dan penjualan gabah terhadap harga gabah koperasi dan tengkulak, maka dapat ditemukan bahwa respon yang diberikan pada harga gabah tengkulak adalah sangat kuat. Ini berarti kenaikan harga gabah tengkulak akibat kenaikan jumlah produksi gabah petani, dan penurunan harga gabah tersebut akibat melimpahnya penjualan gabah, keduanya menyebabkan harga gabah tengkulak berfluktuasi sangat kuat. Karena itu hasil disini membuktikan bahwa harga
gabah tengkulak potensial berfluktuasi tetapi koperasi tidak.

Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi
Pembelian gabah oleh koperasi ditentukan oleh besar harga yang ditetapkan dan kapasitas peralatan produksi koperasi diantaranya RMU, gedung dan lantai jemur, dan peralatan penunjang lainnya. Sebelum perubahan kebijakan oleh pemerintah dengan menyerahkan distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras kepada swasta, koperasi telah aktif dalam pembelian dan pengadaan gabah/beras. Dalam hal ini koperasi beroperasi penuh dengan menggunakan semua kapasitas peralatan yang ada. Akan tetapi setelah perubahan kebijakan, koperasi mengalami penurunan cukup besar dalam kegiatan pembelian dan pengadaan gabah/beras. Jadi, persamaan pembelian gabah koperasi digunakan untuk mengukur kegiatan koperasi dalam pengadaan gabah dan beras dimaksud.
Setelah pemerintah merubah kebijakan perberasan nasional dengan melibatkan pihak swasta, terdapat indikasi bahwa koperasi mengalami penurunan cukup besar dalam kemampuan pengadaan beras. Untuk mengevaluasi eksistensi koperasi dalam produksi beras, dimodelkan persamaan-persamaan produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi. Peubah-peubah yang dianggap menentukan jumlah produksi beras koperasi adalah kapasitas produksinya, jumlah pembelian gabah, dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Sedangkan kapasitas produksi beras ditentukan oleh peubahpeubah total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras, kapasitas RMU, dan kapasitas gudang dan lantai jemur koperasi serta kenaikan produksi beras.
Berdasarkan penjelasan diatas terlihat bahwa pada satu sisi jumlah pembelian gabah dan kapasitas produksi beras koperasi sangat bergantung pada kapasitas prasarana dan sarana produksi beras yang ada. Sementara pada sisi lain pembelian gabah dan kapasitas produksi tersebut sangat menentukan produksi beras, maka untuk tujuan meningkatkan produksi beras koperasi secara keseluruhan diperlukan pemecahan terhadap kendala-kendala yang dihadapi koperasi pada masing-masing propinsi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi
  • Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi
Untuk mengetahui sejuahmana perkembangan operasional kelembagaan koperasi setelah perubahan kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras oleh pemerintah, perilaku usaha koperasi akan menjelaskan keadaan aktual koperasi. Kondisi koperasi yang diamati adalah permodalannya, volume usaha, Sisa Hasil Usaha (SHU), dan produktivitas koperasi. Bagian permodalan terdiri dari modal sendiri, modal luar, dan jumlah aset koperasi.
Modal sendiri koperasi ditentukan oleh jumlah anggota dan simpanan para anggotanya. Semakin besar kedua peubah tersebut maka semakin besar pula modal sendiri koperasi. Koperasi-koperasi contoh yang dipilih dalam kajian ini adalah koperasi pengadaan pangan. Untuk melihat keterkaitan antara kemampuan pengadaan pangan dan pembentukan modal sendiri koperasi, dimasukkan dalam analisis peubah kapasitas produksi beras koperasi. Kapasitas produksi beras koperasi terkait erat dengan seluruh prasarana dan sarana pendukungnya. Kepemilikan prasarana dan sarana tersebut merupakan bagian dari pemupukan modal. Karena itu besaran kapasitas produksi berkorelasi dengan besaran pembentukan modal sediri. Diasumsikan, jika koperasi aktif dan maju dalam pengadaan dan pengelolaan gabah/beras, maka pemilikan kapasitas produksi beras akan berkontribusi dalam pembentukan modal sendiri koperasi.
Modal luar koperasi ditentukan oleh jumlah pemilikan aset, jumlah modal sendiri, jumlah anggota dan jumlah unit usaha koperasi. Diasumsikan semakin besar pemilikan aset, jumlah anggota dan jumlah unit usaha maka semakin besar modal luar koperasi. Sedangkan jumlah pemilikan aset koperasi ditentukan oleh total modal koperasi dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Dengan asumsi bahwa koperasi contoh adalah koperasi pangan, maka besaran kapasitas prasarana dan sarana produksi beras akan memberikan kontribusi cukup besar pada total aset koperasi. Hal ini juga menunjukkan seberapa besar dominasi unit usaha pengadaan pangan dalam keseluruhan operasional koperasi.
  • Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi
Volume usaha koperasi pada dasarnya ditentukan oleh nilai volume usaha dari pelayanan anggota dan nilai volume dari pelayanan terhadap pasar umum. Juga dianalisis keterkaitan pengadaan pupuk dengan volume usaha, dan apa yang terjadi jika pihak koperasi dan swasta masing-masing diberi peran lebih tinggi dalam distribusi pupuk.
Sisa hasil usaha koperasi (SHU) ditentukan oleh volume usaha, besaran nilai aset dan produktivitas anggota. Semakin besar volume usaha koperasi akan semakin besar juga SHU yang akan diterima. Semakin besar nilai total aset koperasi menunjukkan peluang menerima SHU yang besar semakin terbuka. Diasumsikan jika produktivitas anggota koperasi semakin baik berpeluang meningkatkan SHU yang diterima koperasi. Sebaliknya, semakin besar SHU yang diterima koperasi maka makin besar bagian yang akan diterima anggota masing-masing. Begitu juga semakin tinggi produkvitas seorang anggota semakin besar bagian SHU yang diterima.
  • Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha
Produktivitas anggota merupakan sebuah angka yang mengukur seberapa banyak output yang dapat dihasilkan oleh seorang anggota koperasi. Semakin tinggi angka tersebut semakin tinggi pula produktivitas anggota. Angka ini merupakan rasio antara volume usaha dan jumlah anggota koperasi. Koperasi-koperasi dengan anggota banyak cenderung menghasilkan volume usaha lebih besar. Sedangkan produktivitas aset merupakan angka yang mengukur produktivitas dari kekayaan aset koperasi. Aset-aset yang ditanamkan memiliki nilai dan karena itu ia harus menerima return-nya. Produktivitas aset dihitung dengan membagi antara volume usaha dan total nilai aset koperasi. Semakin tinggi volume usaha koperasi semakin tinggi pula return yang diterima aset yang ditanamkan dan berarti semakin tinggi produktivitas aset tesebut. Produktivitas usaha merupakan angka yang mengukur besarnya bagian SHU (%) dari total volume usaha yang dicapai koperasi. Jika pencapaian suatu volume usaha sanggup memberikan bagian terbesar bagi SHU berarti diperoleh produktivitas usaha yang lebih tinggi. Angka produktivitas usaha diperoleh dengan mencari prosentase besaran SHU dari volume usaha.
Produktivitas anggota (PRAN) diasumsikan ditentukan oleh volume usaha, jumlah tempat pelayanan koperasi, jumlah karyawan dan produktivitas modal total. Semakin besar volume usaha, semakin banyak tempat pelayanan koperasi dan semakin tinggi produktivitas modal total maka semakin besar pula produktivitas anggota. Sedangkan semakin banyak jumlah karyawan koperasi semakin berkurang produktivitas anggota.
Produktivitas aset (PRAS) ditentukan oleh volume usaha, produktivitas anggota dan produktivitas modal total. Semakin besar volume usaha, semakin tinggi produktivitas anggota dan produktivitas modal total maka semakin tinggi pula produktivitas aset koperasi.
Produktivitas usaha (PRUS) ditentukan oleh produktivitas anggota dan produktivitas kredit yang diambil koperasi. Semakin besar kedua peubah tersebut semakin besar pula produktivitas usaha. Kredit digunakan koperasi untuk mendanai berbagai kegiatan produktif
koperasi. Diharapkan penggunaan kredit akan mendatangkan output yang lebih besar bagi koperasi. Jika kredit tersebut cukup produktif mendatangkan output, itu berarti ia meningkatkan produktivitas usaha.

Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras
Untuk mengetahui efektif tidaknya penyaluran pupuk dan pengadaan beras sesuai kebijakan yang telah ada, dilakukan simulasi terhadap model yang telah dibangun. Tujuan melakukan simulasi adalah untuk menganalisis dampak perubahan peubah-peubah endogen dan eksogen tertentu terhadap keseluruhan peubah endogen di dalam model.
Perubahan terhadap peubah-peubah dimaksud dilakukan dengan cara mengubah nilainya. Sedangkan peubah yang disimulasi adalah peubah yang terkait dan menjelaskan tentang kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras yang ada, serta peubah-peubah kebijakan lainnya.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil kaji ulang peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan dengan fokus pada masalah distribusi pupuk dan pengadaan pagan/beras pada tujuh daerah survei masing-masing Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah, diambil kesimpulan sesuai tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemampuan menyediakan pupuk bagi petani dan kemampuan pengadaan pangan/beras. Sesuai hasil-hasil estimasi, faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyediaan pupuk koperasi adalah :
1. Jumlah penyaluran pupuk koperasi. Jumlah pupuk yang disalurkan koperasi relatif kecil yakni hanya sekitar 30%. Jumlah ini sesuai dengan kebijakan pupuk yang sedang berlaku dimana koperasi hanya diberikan kesempatan kecil sementara swasta lebih dominan. Dengan demikian kemampuan koperasi dalam penyaluran pupuk sudah dibatasi oleh kebijakan pupuk yang ada sekarang.
2. Jumlah penyaluran pupuk swasta. Swasta sangat dominan dalam penyaluran pupuk sehingga jumlah yang disalurkan juga besar. Sesuai fakta lapangan, dominasi swasta makin menekan kesempatan koperasi untuk menyalurkan pupuk. Hal ini terkait dengan posisi tawar swasta yang lebih besar dan monopoli swasta di pasar pupuk.
3. Kelangkaan pupuk. Kelangkaan pupuk disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya pupuk diekspor ke luar negeri, dijual ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu. Kuota pupuk yang kecil bagi koperasi disertai kelangkaan pupuk menyulitkan koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi petani.
4. Jumlah permintaan pupuk petani. Permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa terus meningkat. Penyebabnya adalah terjadi pergeseran musim tanam, adanya perluasan tanam gadu, dan perluasan areal tanaman pangan. Sementara koperasi mewadahi sejumlah besar petani yang sejak lama terbina dengan baik. Kecilnya kuota penyaluran pupuk oleh koperasi disertai terjadinya kelangkaan pupuk dan makin meningkatnya permintaan petani semakin melemahkan kemampuan koperasi menyediakan pupuk bagi petani.
5. Harga pupuk. Harga riil pupuk tingkat petani yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) dan tidak dapat dikontrol oleh koperasi, melemahkan fungsi pelayanan ”sosial” koperasi. Selain itu monopoli pasar pupuk dan penyaluran pupuk oleh swasta yang menyebabkan harga pupuk lebih tinggi kemungkinan memberikan kendala pembiayaan bagi koperasi untuk menyediakan pupuk bagi petani.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam pengadaan pangan/beras adalah :
1. Jumlah produksi dan penjualan gabah petani. Kemampuan koperasi dalam pengadaan pangan/beras bermula dari kemampuannya mendorong kenaikan produksi gabah petani yang kemudian meningkatkan jumlah penjualan mereka. Produksi gabah petani dapat meningkat bila dukungan koperasi dalam penyediaan pupuk juga berlangsung secara baik. Dukungan koperasi pada penyediaan pupuk
relatif kecil maka dukungan tidak langsung pada produksi gabah dan penjualan petani juga relatif kecil. Selain itu dukungan koperasi dalam hal kelembagaan kepada petani banyak mengalami penurunan sehingga turut mempengaruhi produksi gabah petani. Koperasi belum berperan maksimal sebagai tempat bagi penjualan gabah petani.
2. Harga gabah. Harga gabah berfluktuasi sesuai musim panen dan berkompetisi antara pihak koperasi dan tengkulak. Harga gabah koperasi relatif stabil sedangkan harga tengkulak fluktuatif. Saat-saat panen raya dimana harga gabah menurun, harga gabah koperasi yang relatif stabil menguntungkan bagi para petani. Sementara saat-saat paceklik dimana harga gabah naik, tengkulak lebih menguntungkan bagi petani.
3. Pembelian gabah. Koperasi mengalami kendala pembelian gabah karena permodalan yang terbatas.
4. Produksi dan kapasitas produksi beras. Produksi dan kapasitas produksi beras koperasi relatif mengalami penurunan akibat kapasitas peralatan pendukung yang sudah beroperasi di bawah kapasitas normal.
5. Kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Kapasitas RMU, gudang dan lantai jemur, peralatan penunjang lainnya bahkan prasarana dan sarana secara keseluruhan telah mengalami penurunan karena tidak beroperasi secara normal. Faktor penyebabnya adalah berkurangnya kegiatan pengadaan pangan koperasi akibat berubahnya kebijakan pengadaan pangan.


REVIEW

Abstrak
Koperasi dalam menunjang ketahanan pangan, sudah sejak lama menjadi badan usaha yang strategis di sektor pertanian dalam meningkatkan ekonomi anggotanya maupun masyarakat pada umumnya. KUD khususnya sudah berpengalaman dan bermanfaat dalam mendorong peningkatan produksi di subsektor pangan, berperan dalam menyediakan dan menyalurkan prasarana dan sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, gudang dan lantai jemur, Rice Miling Unit, dll) kepada petani serta dalam kegiatan pemasaran dabah/beras.
Koperasi sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000) terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2003). Kini seiring perubahan pemerintahan dan kondisi ekonomi yang diikuti dengan perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan, koperasi/KUD praktis tidak berperan lagi secara maksimal. Perubahan kebijakan seperti Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004, tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD menyalurkan pupuk kepada petani, melainkan kepada swasta (lebih dominan) dan juga
kepada koperasi/KUD. Juga Inpres Nomor 9 tahun 2003 tidak lagi memberi kewenangan kepada koperasi/KUD sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah.
Beberapa faktor yang melemahkan kemampuan tersebut adalah monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, pengalihan dan ekspor pupuk ke perusahaan besar dan ke luar negeri, harga jual gabah yang berfluktuasi, produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan pendukung yang beroperasi dibawah kapasitas normal. Dampak-dampak tersebut mendorong perlu dilakukannya riset tentang “Kaji Ulang Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan” untuk menentukan kebijakan apa yang perlu dipertimbangkan dan dapat ditetapkan pada waktu yang akan datang.
Kebijakan yang dapat diterapkan adalah memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk maupun pada pengadaan pangan/beras. Perlu peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk pembelian gabah dan peningkatan kapasitas prasarana dan
sarana produksi beras koperasi.


Point-Point

Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer
Pengadaan pupuk setiap tahun pada level propinsi ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Jumlah pupuk yang ditetapkan disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Secara alami kebutuhan pupuk ditentukan oleh permintaan atau kebutuhan semua kabupaten-kabupaten yang ada, dan diasumsikan dari waktu-waktu kebutuhan tersebut terus meningkat. Untuk mengetahui kondisi riil pengadaan pupuk masing-masing daerah sampel penelitian, peubah harga pupuk turut digunakan sebagai alat evaluasi terkait dengan realisasi pengadaan dan penyaluran pupuk.

Harga Pupuk Tingkat Petani
Penelitian ini menggolongkan para petani atas dua kelompok yaitu petani anggota koperasi dan petani non-anggota koperasi. Umumnya harga pupuk yang berlaku pada kedua kelompok petani ini relatif sama. Dengan demikian persamaan harga pupuk dari petani anggota koperasi dapat digunakan untuk mewakili kedua golongan petani tersebut.
Harga pupuk di tingkat petani seharusnya sebesar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Akan tetapi harga tersebut hanya berlaku jika pemerintah berhasil mengendalikan pasar yakni mengendalikan jumlah persediaan agar sesuai permintaan konsumen. Jika tidak, pasar akan terdistorsi yakni terjadi excess demand dan atau sortage supply maka harga pupuk akan berubah sesuai kondisi pasar yang ada.

Penggunaan Pupuk oleh Petani
Jumlah permintaan pupuk baik petani anggota maupun non-anggota koperasi ditentukan oleh luas areal sawah masing-masing, ketersediaan pupuk yang disuplai oleh para pengecer dan harga pupuk di tingkat petani. Disini, harga pupuk diwakili oleh harga pada petani anggota koperasi karena harga pupuk di tingkat petani anggota maupun nonanggota koperasi relatif sama.

Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani
Jumlah produksi gabah para petani ditentukan oleh luas areal sawah mereka masing-masing, jumlah penggunaan pupuk, dan tingkat harga gabah di pasar. Secara teoritis, sebuah produksi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input yang dalam hal ini adalah luas areal sawah dan jumlah pupuk, dan tingkat harga jual produk yang dihasilkan. Jika petani dalam proses produksinya berorientasi ke pasar maka tingkat harga gabah akan merupakan indikator keberhasilan yang akan dicapai petani. Harga gabah Bulog tidak
dimasukan ke dalam persamaan karena data lapangan menunjukkan petani tidak menjual gabahnya ke Devisi Bulog atau Dolog setempat.
Jumlah pejualan gabah petani anggota dan non-anggota koperasi ditentukan oleh jumlah produksi gabah mereka masing-masing dan harga gabah koperasi dan tengkulak. Sedangkan pendapatan petani anggota dan non-anggota koperasi ditentukan oleh jumlah penjualan gabah mereka, harga gabah yang ditetapkan koperasi dan para tengkulak, dan besar biaya produksi masing-masing petani. Peubah harga koperasi dan harga para tengkulak dimasukkan bersama-sama dalam masing-masing persamaan pendapatan petani untuk melihat kontribusi masing-masing terhadap pendapatan para petani.

Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak
Harga gabah yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak pada dasarnya berpedoman pada harga pembelian pemerintah. Secara empiris, harga yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak di pasar ditentukan oleh jumlah produksi dan penjualan gabah para petani. Juga harga gabah yang ditetapkan berpedoman pada tingkat harga pupuk level petani. Di dalam pasar produk terdapat hubungan yang erat antara input dan output. Harga-harga input dapat mempengaruhi penetapan harga output yakni semakin
tinggi harga input maka penetapan harga output juga makin tinggi. Karena itu untuk mengetahui perilaku penetapan harga gabah baik pada koperasi maupun para tengkulak, dimasukan variabel harga pupuk kedalam kedua persamaan harga gabah.

Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi
Pembelian gabah oleh koperasi ditentukan oleh besar harga yang ditetapkan dan kapasitas peralatan produksi koperasi diantaranya RMU, gedung dan lantai jemur, dan peralatan penunjang lainnya. Sebelum perubahan kebijakan oleh pemerintah dengan menyerahkan distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras kepada swasta, koperasi telah aktif dalam pembelian dan pengadaan gabah/beras. Dalam hal ini koperasi beroperasi penuh dengan menggunakan semua kapasitas peralatan yang ada. Akan tetapi setelah perubahan kebijakan, koperasi mengalami penurunan cukup besar dalam kegiatan pembelian dan pengadaan gabah/beras. Jadi, persamaan pembelian gabah koperasi digunakan untuk mengukur kegiatan koperasi dalam pengadaan gabah dan beras dimaksud.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi
1. Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi
Untuk mengetahui sejuahmana perkembangan operasional kelembagaan koperasi setelah perubahan kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras oleh pemerintah, perilaku usaha koperasi akan menjelaskan keadaan aktual koperasi. Kondisi koperasi yang diamati adalah permodalannya, volume usaha, Sisa Hasil Usaha (SHU), dan produktivitas koperasi. Bagian permodalan terdiri dari modal sendiri, modal luar, dan jumlah aset koperasi.
Modal sendiri koperasi ditentukan oleh jumlah anggota dan simpanan para anggotanya. Semakin besar kedua peubah tersebut maka semakin besar pula modal sendiri koperasi. Koperasi-koperasi contoh yang dipilih dalam kajian ini adalah koperasi pengadaan pangan. Untuk melihat keterkaitan antara kemampuan pengadaan pangan dan pembentukan modal sendiri koperasi, dimasukkan dalam analisis peubah kapasitas produksi beras koperasi. Kapasitas produksi beras koperasi terkait erat dengan seluruh prasarana dan sarana pendukungnya. Kepemilikan prasarana dan sarana tersebut merupakan bagian dari pemupukan modal. Karena itu besaran kapasitas produksi berkorelasi dengan besaran pembentukan modal sediri. Diasumsikan, jika koperasi aktif dan maju dalam pengadaan dan pengelolaan gabah/beras, maka pemilikan kapasitas produksi beras akan berkontribusi dalam pembentukan modal sendiri koperasi.
Modal luar koperasi ditentukan oleh jumlah pemilikan aset, jumlah modal sendiri, jumlah anggota dan jumlah unit usaha koperasi. Diasumsikan semakin besar pemilikan aset, jumlah anggota dan jumlah unit usaha maka semakin besar modal luar koperasi. Sedangkan jumlah pemilikan aset koperasi ditentukan oleh total modal koperasi dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Dengan asumsi bahwa koperasi contoh adalah koperasi pangan, maka besaran kapasitas prasarana dan sarana produksi beras akan memberikan kontribusi cukup besar pada total aset koperasi. Hal ini juga menunjukkan seberapa besar dominasi unit usaha pengadaan pangan dalam keseluruhan operasional koperasi.

2. Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi
Volume usaha koperasi pada dasarnya ditentukan oleh nilai volume usaha dari pelayanan anggota dan nilai volume dari pelayanan terhadap pasar umum. Juga dianalisis keterkaitan pengadaan pupuk dengan volume usaha, dan apa yang terjadi jika pihak koperasi dan swasta masing-masing diberi peran lebih tinggi dalam distribusi pupuk.
Sisa hasil usaha koperasi (SHU) ditentukan oleh volume usaha, besaran nilai aset dan produktivitas anggota. Semakin besar volume usaha koperasi akan semakin besar juga SHU yang akan diterima. Semakin besar nilai total aset koperasi menunjukkan peluang menerima SHU yang besar semakin terbuka. Diasumsikan jika produktivitas anggota koperasi semakin baik berpeluang meningkatkan SHU yang diterima koperasi. Sebaliknya, semakin besar SHU yang diterima koperasi maka makin besar bagian yang akan diterima anggota masing-masing. Begitu juga semakin tinggi produkvitas seorang anggota semakin besar bagian SHU yang diterima.

3. Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha
Produktivitas anggota merupakan sebuah angka yang mengukur seberapa banyak output yang dapat dihasilkan oleh seorang anggota koperasi. Semakin tinggi angka tersebut semakin tinggi pula produktivitas anggota. Angka ini merupakan rasio antara volume usaha dan jumlah anggota koperasi. Koperasi-koperasi dengan anggota banyak cenderung menghasilkan volume usaha lebih besar. Sedangkan produktivitas aset merupakan angka yang mengukur produktivitas dari kekayaan aset koperasi. Aset-aset yang ditanamkan memiliki nilai dan karena itu ia harus menerima return-nya. Produktivitas aset dihitung dengan membagi antara volume usaha dan total nilai aset koperasi. Semakin tinggi volume usaha koperasi semakin tinggi pula return yang diterima aset yang ditanamkan dan berarti semakin tinggi produktivitas aset tesebut. Produktivitas usaha merupakan angka yang mengukur besarnya bagian SHU (%) dari total volume usaha yang dicapai koperasi. Jika pencapaian suatu volume usaha sanggup memberikan bagian terbesar bagi SHU berarti diperoleh produktivitas usaha yang lebih tinggi. Angka produktivitas usaha diperoleh dengan mencari prosentase besaran SHU dari volume usaha.

Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras
Untuk mengetahui efektif tidaknya penyaluran pupuk dan pengadaan beras sesuai kebijakan yang telah ada, dilakukan simulasi terhadap model yang telah dibangun. Tujuan melakukan simulasi adalah untuk menganalisis dampak perubahan peubah-peubah endogen dan eksogen tertentu terhadap keseluruhan peubah endogen di dalam model.
Perubahan terhadap peubah-peubah dimaksud dilakukan dengan cara mengubah nilainya. Sedangkan peubah yang disimulasi adalah peubah yang terkait dan menjelaskan tentang kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras yang ada, serta peubah-peubah kebijakan lainnya.
 
Referensi

Review Jurnal Koperasi 8

Nama Anggota Kelompok :
  
  • Lestari Setyawati  (24210005)
  • Rayi Kinasih   (25210688)
  • Dewi Kencanawati   (21210903)
  • Ericha Dian N.   (22210387)
  • Syiam Noor W.   (26210798)
  • Nihlah Adawiyah (24210976)
  • Dwikie Bayu Ramadhan   (22210218)


PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR


PENDAHULUAN
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena engine of growthyang penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk menjamin bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya di perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survey nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Artinya, Indonesia belum menjadi negara tujuan investasi. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di regional (daerah) tertentu saja, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Aliran investasi dalam rangka PMDN dan PMA separuhnya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional lainnya. Pola ini jelas dapat semakin memperbesar kesenjangan antar regional dimana regional selain Pulau Jawa dan Bali pembangunan ekonominya semakin jauh tertinggal. Kesenjangan antar regional ini sekaligus juga mempersulit upaya penanggulangan pengangguran dan kemiskinan. Bila kesenjangan ini masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya strategi Pemerintah secara nasional menarik investasi dalam rangka pemulihan ekonomi dari krisis dan revitalisasi perekonomian.
Sejalan dengan otonomi daerah, kesenjangan pembangunan antar daerah yang tinggi menunjukkan tujuan otonomi daerah tidak tercapai dalam rangka menyejahterakan rakyat. Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten, kota, dan propinsi, harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
Mobilisasi sumberdaya lokal, praktis di bawah kendali pemerintahan lokal dan propinsi. Dengan demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota memberikan harapan kesungguhan setiap daerah membangun ekonomi dengan prinsip kompetisi. Program-program pembangunan menjadi implementasi strategi setiap pemimpin daerah dalam mewujudkan visi dan misi ketika kampanye pemilihan kepala daerah tersebut.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan seluasluasnya kepada daerah untuk membangun sesuai dengan kapasitas daerah itu di tengah perubahan lingkungan strategis yang cepat. Pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi telah dikenal luas selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Secara ideal, koperasi tidak hanya sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap mampu mengejawantahkan peran konstitusi (pasal 33 UUD 1945) dalam konteks ekonomi kerakyatan. Secara faktual, koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi sebagaimana bentuk badan usaha lain, seperti perseroan terbatas (PT). Dalam era otonomi daerah jelaslah bahwa pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala daerah juga harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
Apakah perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan kemampuan propinsi mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan
hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
daerah lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis ini juga dapat membuktikan apakah strategi pemerintah daerah dan pusat, khususnya lembaga pemerintah yang bertanggungjawab pengembangan koperasi, mampu menjawab permasalahan dasar perekonomian sesuai grand strategies pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya dalam rangka otonomi daerah. Dengan kata lain, apakah pola pembangunan koperasi menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional atau
berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus menerus.

METODE ANALISIS
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih sering dikumandangkan berdasarkan analisis historikal yang normatif. Tulisan ini mencoba menampilkan analisis yang lebih positif dengan menggunakan fakta empirik menyangkut posisi ekonomi koperasi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi itu berada. Pendekatan relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk mengetahui performa propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks, berdasarkan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) dari sisi regional atau propinsi atau kawasan Indonesia (selanjutnya disebut regional) atau Regional Cooperative Economic Performance Index (RCEPI). IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana performa relatif ekonomi koperasi secara regional (cooperative economic size by region) atau ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional secara nasional (economic size relative by region). Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan antara rasio nilai ekonomi atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang dinyatakan sebagai ukuran ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut dengan
nasional.
Metode ini cukup baik untuk menjelaskan rating dan peringkat regional/propinsi dalam pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan telah digunakan oleh para analis atau peneliti ekonomi untuk melihat posisi berbagai aspek, antara lain komoditas dalam
ekspor, negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya.
Demikian juga penulis sendiri telah menggunakannya dalam memeringkat sektor perekonomian dan regional dalam menarik investasi PMDN dan PMA. Pada tahun 2007, Kementerian Negara KUKM melalui Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya untuk memeringkat propinsi dalam pembangunan KUKM. Dalam pembangunan wilayah, metode ini biasanya digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan lokasi perencanaan wilayah.
Analisis ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masingmasing lembaga. Data PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006.
Seyogianya, performa tahun 2007 lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB. Sehingga penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek. Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).

HASIL ANALISIS
1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya.
Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.

2. Ukuran Ekonomi Regional
 Sejauhmana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun. Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1
terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan
kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1, semestinya propinsi yang memiliki kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa ekonomi koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta 0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya
akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya.
Sebaliknya, kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya maka performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi tidak mampu menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan koperasi sebagai wujud ekonomi rakyat.

3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi koperasi terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam ekonomi koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi koperasi menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah sebesar 0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau 18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya10 merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik.
Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya, pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya 12 mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi. Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
_____________, (2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta

REVIEW

Abstrak
Pembangunan ekonomi koperasi merupakan bagian integral dari ekonomi nasional pembangunan. Kapasitas yang lebih tinggi dari daerah dalam perekonomian nasional, itu harus tercermin pada ekonomi yang lebih tinggi kerjasama regional. Dalam era otonomi daerah, pengembangan koperasi merupakan salah satu hal utama dari kewenangan kepala daerah. Sesuai dengan lingkungan dan iklim
perubahan, setiap provinsi akan memacu untuk mengembangkan ekonomi koperasi untuk meningkatkan perekonomian penduduk.
Salah satu dorongan untuk meningkatkan persaingan antar daerah adalah dengan mengidentifikasi posisi provinsi secara nasional. Dengan menggunakan kinerja ekonomi regional koperasi/ PEKR indeks, maka peringkat provinsi di dapat diidentifikasi. Hasil analisis menunjukkan kinerja yang baik dari satu provinsi tidak selalu ditunjukkan oleh kapasitas ekonomi tinggi regional di perekonomian nasional.
 Pada 2006, peringkat tertinggi dicapai oleh Provinsi Gorontalo, meskipun provinsi ini memiliki kapasitas ekonomi yang rendah daerah, tetapi mampu menciptakan ekonomi yang sangat tinggi.

Point-Point
  • HASIL ANALISIS
  1. Rating dan Tingkat Provinsi
Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya.
Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.

2. Ukuran Ekonomi Regional
Sejauhmana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau 18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya10 merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.

3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik.